Melawan Walau Tertawan

Melawan Walau Tertawan
Teriakan Keadilan

Selasa, 24 September 2013

60 Ribu Napi Narkoba Akan Direhabilitasi

Jakarta – Sekitar 60.000 narapidana atau sekitar 38 persen dari 157 ribu narapidana yang mendekam di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) yang menyandang sebagai pecandu atau penyalahguna narkotika akan menjalani rehabilitasi.
Demikian salah satu poin Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Pas Kemkumham) tentang Program Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika Bagi Narapidana, Tahanan, Anak Didik, dan Kilen Pemasyarakatan.
MoU ini ditandatangani bertepatan dengan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke 49 di Ditjen Pas, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).
Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, Kusman Suriakusumah menyatakan, MoU ini bertujuan untuk menekan jumlah pecandu dan penyalahguna di dalam lapas yang jumlahnya cukup besar.
Dengan mengurangi jumlah penyalahguna, maka permintaan akan narkotika dapat ditekan, yang diharapkan berpengaruh pada berkurangnya peredaran narkoba.
“Rehabilitasi bagi pecandu atau penyalahguna narkoba merupakan langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menekan angka penyalahgunaan narkoba. Semakin banyak pecandu atau penyalahguna yang pulih dari kecanduannya, maka akan membuat para bandar kehilangan pasar mereka,” kata Kusman.
Kusman mengatakan, para narapidana narkotika memerlukan perhatian khusus, terutama yang merupakan bekas pemakai atau pecandu. Para napi ini harus mendapatkan perawatan dan pemulihan yang intens melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Pasalnya, pasar narkoba akan terus berkembang jika para napi yang juga penyalahguna narkoba tidak mendapatkan rehabilitasi.
“Dampaknya, selepasnya mereka dari Lapas akan mempengaruhi masyarakat lainnya dan menambah jumlah penyalahguna narkoba,” ujar Kusman.
Menurut dia, para napi yang terbukti sebagai pecandu atau penyalahguna narkoba memiliki hak yang sama dengan penyalah guna lainnya, yaitu mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial.
Rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial merupakan kewajiban bagi napi untuk diikuti setelah hakim menjatuhkan putusan tentang terbukti atau tidaknya seorang sebagai pelaku tindak pidana narkotika.
Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 127 ayat 2, yaitu dalam memutus perkara setiap penyalah guna Narkotika baik golongan I maupun golongan II dan golongan III, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Menurut dia, nota kesepahaman ini penting lantaran seluruh anggota ASEAN berkomitmen untuk bebas narkoba pada 2015.
Salah satu indikator komitmen tersebut adalah adanya program rehabilitasi di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan).
Dikatakan Kusman, nota kesepahaman ini merupakan upaya pihaknya untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian di dalam Lapas dan Rutan akibat dampak penyakit yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika.
“Ada sekitar 60.000 lebih atau hampir 38 persen warga binaan yang menyandang sebagai penyalahguna narkotika. Kerja sama dengan Lapas ini terkait program rehabilitasi ini pertama kali dibentuk pada zaman Presiden Megawati. Ketika itu, dokter, perawat dan alat-kesehatan kami bantu. Sekarang sudah bisa dilepas,” kata Kusman.
Dalam kesempatan itu, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan maraknya penyalahgunaan narkotika di dalam Lapas atau Rutan tidak terlepas dengan kondisi Lapas dan Rutan yang sudah kepenuhan.
“Over kapasitas di Lapas dan Rutan sangat berpengaruh terhadap pelayanan warga binaan. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap determinan terjadinya penyalahgunaan narkoba dalam lapas,” katanya.
Direktur Pemasyarakatan Kemkumham, Muhammad Sueb, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti MoU ini.
“Warga binaan kami ada 157.000 narapidana, dan 38 persen atau sekitar 60.000 merupakan pecandu, penyalahguna, atau pengedar narkotika,” katanya.
Penulis: F-5/FEB
Sumber:Suara Pembaruan
http://www.beritasatu.com/nasional/110520-60-ribu-napi-narkoba-akan-direhabilitasi.html

Kamis, 29 Agustus 2013

MENCEGAH OVER DOSIS

Hal yang perlu diingat untuk mencegah overdosis
  • jika ada bandar baru, sebaiknya coba sedikit dulu, kemudian tunggu 20 – 30 menit untuk melihat kualitas barang.
  • Cari informasi terkait berapa lama obat bekerja
  • hindari mencampur beberapa opioid yang memiliki kandungan depresant secara bersama atau berurutan.
  • Ingat overdosis kebanyakan tidak terjadi langsung setelah “barang” dimasukkan ke tubuh, terkadang bisa terjadi beberapa jam kemudian
  • Gunakan bersama teman yg memiliki pengalaman penanganan overdosis

Senin, 19 Agustus 2013

Pertolongan Korban Over Dosis


Apa yang harus dilakukan bila kita menemukan korban Overdosis
  1. Rujuk ke layanan kegawatdaruratan (UGD) untuk mendapatkan Antidotum (semacam penetralisir) Naloxone.
  2. Berikan bantuan pernafasan:
Overdosis lebih banaloxone recoverynyak terkait dengan gangguan pernapasan, oleh karena itu bantuan napas bisa dilakukan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan bila kita menemukan korban overdosis yaitu:
  1. Jauhkan / singkirkan semua benda berbahaya disekitar anda
  2. Cek respon apakah orang tersebut sadar / tidak.
  3. Jika orang tersebut mengalami gangguan pernafasan / berhenti, segera lakukan:
    • Periksa apakah ada sesuatu yang menghambat saluran nafas di dalam mulut atau tenggorokan.

    • Jika anda menemukan sesuatu segera keluarkan / sapu dengan menggunakan dengan 2 jari ke dalam mulut dengan posisi korban menyamping.

    • Cek kembali nafas, jika orang tersebut tetap tidak bernafas, anda dapat mengembalikan ke posisi telentang, tegakkan kepala, jepit hidung menggunakan tangan dan beri nafas bantuan ke mulutnya (1 kali nafas setiap 4 detik). Pastikan dada meningkat setiap kali kita memberikan bantuan nafas, terus lakukan hal ini sampai orang dapat bernapas sendiri, atau sampai bantuan medis yang tersedia datang.

    • Jika seseorang mulai bernapas sendiri, dan posisikan dalam “posisi pemulihan” (recovery position) temani dia dan jangan ditinggalkan karena ada kemungkinan orang tersebut mengalami overdosis kembali. Sebaiknya temani hingga kondisi korban kembali benar – benar stabil. Hal serupa juga berlaku saat kita merujuk / mendampingi korban di layanan UGD untuk mendapatkan Naloxone.
    •  
    • Sumber : http://www.jarumbersih.info/pertolongan-korban-overdosis/

PENGERTIAN OVERDOSIS

Overdosis adalah keadaan dimana seseorang mengalami ketidaksadaran akibat menggunakan obat terlalu banyak, Ketika batas toleransi tubuh dalam mengatasi zat tersebut terlewati (melebihi toleransi badan) maka hal ini dapat terjadi.  Overdosis dapat terjadi kepada siapapun pengguna napza, overdosis terjadi ketika:
  • Seseorang belum pernah menggunakan /
  • Menggunakan lebih banyak zat dari takaran yang digunakan sebelumnya /
  • Mengkombinasi zat yang digunakan (mix zat) yang memiliki karakteristik atau efek yang sama.
  • Tingkat kemurnian Zat (yang pure / asli) saat digunakan dengan jumlah setara dengan jenis barang dengan tingkat kemurnian yang lebih rendah. Artinya kita tidak pernah mengetahui kemurnian barang yang kita gunakan, sehingga overdosis bisa terjadi kapanpun.
Overdosis dapat berakibat fatal dan mengakibatkan kematian bila tidak dapat diselamatkan / ditolong.


Kamis, 15 Agustus 2013

AKSI NTB Kampanyekan Jangan Hukum Korban NAPZA

Komunitas Korban Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menamakan diri Komunitas AKSI NTB mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi Mataram untuk mengampanyekan “Dukung Jangan Menghukum” (Support, Don’t Punish), Rabu (26/6/2013).
Kampanye ini menyerukan kepada pemerintah untuk mengakhiri War on Drugs, yang dianggapnya sebagai kebijakan yang diinisiasi pada tahun 1971 oleh pemerintahan Richard Nixon di Amerika Serikat.
“Jangan pandang teman-teman yang pernah menggunakan narkoba tidak berguna lagi, mereka masih punya harapan,” kata Koordinator Umum AKSI NTB, Didit Malada.
Menurut Didit, ketergantungan NAPZA bukanlah sebuah kriminal, namun masalah sosial, mental dan fisik yang tidak dapat diselesaikan melalui hukuman.
“Kriminalisasi orang yang menggunakan NAPZA dapat meningkatkan angka resiko terhadap penularan HIV, TBC dan Hepatitis C serta berdampak merusak kesempatan seseorang dari lingkungan pekerjaan dan sosial,” jelasnya.
Kampanye tersebut dilaksanakan secara serentak di 13 kota se-Indonesia untuk mengakhiri kriminalisasi dan hukuman bagi korban penyalahgunaan Narkoba.
Mereka menuntut Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB untuk menerapkan surat edaran Jaksa Agung Nomor SE/002/A/JA/02/2013 dengan petunjuk Teknis surat edaran Jaksa Agung Iidana Umum (JAMPIDUM) No. B 01/E/EJP/02/2013 yang secara struktur mengatur dengan jelas terkait penempatan korban penyalahgunaan narkotika.
Selain itu, mereka juga menuntut agar pemerintah meningkatkan upaya penanggulangan dampak buruk penggunaan narkotika berbasis bukti dan program yang efektif bagi mereka yang mengalami masalah dengan penggunaan narkotika serta meningkatkan pemahaman yang lebih baik kepada korban.

Sementara Jaksa Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejati NTB, Bambang mengapresiasi aksi tersebut. Disamping menyebutkan menjelaskan undang-undang Narkotika No. 35 tahun 2009 dan peraturan pemerintah No 25 tahun 2011 tentang wajib lapor bagi pengguna NAPZA.
Diambil dari link berita:
http://www.lombokita.com/kabar-lombok/aksi-ntb-kampanyekan-jangan-hukum-korban-nafza?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter#.Ud-YmG1u3oB

Methadon VS Hepatitis C

Methadone vs Hepatitis C?

Methadone vs Hepatitis C? Orang yang mengonsumsi methadone dapat menjalani pengobatan untuk HCV dengan sukses. Untuk teman – teman yang sedang dalam perawatan metadon dan terinfeksi Hepatitis C (HCV) mungkin sering digelayuti pertanyaan, Apakah ada kontra indikasi antara penggunaan metadon dan perawatan / pengobatan HCV? Semoga penjabaran penelitian di bawah bisa menjawab pertanyaan itu.
Pengguna Opiat dalam bentuk perawatan terapi metadon dapat dengan sukses disembuhkan dari infeksi virus Hepatitis C (HCV) yang kronis dan dapat mendapatkan hasil yang sama dengan pasien yang tidak menggunakan metadon, demikian dari data yang diungkapkan European AIDS Conference ke-13 (EACS 2011) di Belgrade. Penggunaan napza suntik dengan cara berbagi peralatan suntik adalah faktor utama dalam penularan HIV dan HCV. Dan menurut perkiraan ada sekitar 30% orang yang terinfeksi HIV juga terpapar HCV. Koinfeksi diasosiasikan dengan proses penyakit yang lebih cepat dan respons yang buruk pada terapi interferon, tetapi hasil dari pengguna opiat substitusi seperti metadon belum pernah diteliti dengan baik.
Beberapa ahli kesehatan selama ini terkesan enggan untuk melakukan perawatan terhadap pengguna napza aktif maupun yang sudah tidak aktif, sebagian besar dengan alasan dengan buruknya ketaatan dalam perawatan tetapi petunjuk perawatan yang ada sekarang menyatakan bahwa penggunaan Napza bukanlah merupakan kontraindikasi dan pasien harus dievaluasi atas dasar individu, bukan berdasarkan sejarah penggunaan Napza. Karin Neukam dari Rumah Sakit Universitario de Valme di Seville, Spanyol, dan koleganya membandingkan respons dari perawatan diantara pasien hepatitis C sebagian besar adalah pengguna Napza suntik- yang mendapatkan atau tidak mendapatkan perawatan terapi metadon.
Studi kelompok prospektif ini melibatkan 214 pasien hepatitis c kronis, di klinik rawat jalan rumah sakit universitas di Seville yang memulai perawatan interveron pegilasi ditambah ribavirin antara bulan Januari 2003 hingga Mei 2010. Hanya lebih dari sepertiga partisipan (38%) dalam perawatan metadon dan 62 % tidak menggunakan metadon. Mayoritas dari dua kelompok tersebut punya sejarah dalam penggunaan Napza suntik, tapi tidak mengejutkan, persentasi dalam penerima metadon adalah (84% vs 63%). Partisipan kebanyakan adalah laki – laki (88% di kelompok metadon, dan 77% di kelompok non-metadon) dan usia rata – rata adalah 42 tahun. Sekitar 25 % dari dua kelompok adalah HIV positif. Penerima perawatan metadon sedikit banyak memiliki pola gen IL28B “CC” dan memiliki sirosis, tapi juga secara signifikan memiliki HCV genotipe 1 atau 4 yang sulit disembuhkan.
Hasil :
Hampir semua peserta dari kedua kelompok dilaporkan 80% atau lebih memiliki ketaatan yang baik dalam terapi hepatitis C.
  1. Di analisa yang disengaja dalam perawatan, tingkat dari respons virus berlanjut (sustained virological response/SVR), atau tidak terdeteksinya HCV RNA dalam jangka berkelanjutan selama 24 minggu setelah selesai, adalah serupa dari dua kelompok baik bagi pengguna metadon maupun bukan pengguna metadon. (Keseluruhan: 48% pada dua kelompok; Genotipe 1 atau 4: 35% vs 42%, masing-masing; Genotipe 2 atau 3: 69% vs 65%, respectively).
  2. Pola yang sama terlihat di analisa on-treatment: (Keseluruhan: 57% vs 59%, masing-masing; Genotipe 1 atau 4: 39% vs 48%, masing-masing; Genotipe 2 atau 3: 76% vs 71%, masing-masing).
  3. Orang dengan koinfeksi HIV/HCV, dengan dasar HCV RNA tinggi, pola gen IL28B yang tidak menguntungkan, dan memiliki dasar sirosis lebih sedikit untuk meraih respons yang berkelanjutan.·
  4. Faktor lain seperti gender, sejarah penggunaan Napza suntik, depresi, dan dosis ribavirin tidak secara signifikan diasosiasikan dengan respons perawatan.
  5. Hasil yang lain hampir mengalami kesamaan dalam kelompok pengguna metadon dan bukan pengguna metadon; (Post-treatment relapse: 11% vs 12% – masing-masing; Terobosan virological: 1% pada kedua kelompok; Respons yang tidak berlaku: 22% vs 21%, – masing-masing; Diskontiniu sukarela: 12% vs 11% – masing-masing; Kejadian yang merugikan: 5% vs 7% – masing-masing).
“Efisiensi dari HCV terapi di antara pengguna metadon dan yang tidak menggunakan metadon ditemukan mendapatkan hasil yang mirip” peneliti menyimpulkan “Pasien yang dalam perawatan metadon harus secara setara dipertimbangkan dalam perawatan interferon pegilasi plus ribavirin.”
Penemuan ini mengindikasikan bahwa penggunaan metadon tidak seharusnya menjadi pertimbangan kontraindikasi dalam perawatn hepatitis C. Stefan Mauss dari Heinrich-Heine University di Duesseldorf mengatakan bahwa ini adalah studi yang sangat penting, dan khususnya negara Eropa timur membutuhkan data seperti ini untuk meyakinkan pada ahli kesehatan dan masyarakat umum bahwa pasien hepatitis C yang menggunakan metadon dapat secara sukses disembuhkan.
Afiliasi Peneliti: Hospital Universitario de Valme, Unit of Infectious Diseases and Microbiology, Seville, Spain; Ambulatory Care Centre for Drug Addiction ANTARIS, Dos Hermanas, Spain; Centro Penitenciario Sevilla, Medical Services, Alcalá de Guadaira, Spain; Hospital Universitario de Valme, Unit of Investigation, Seville, Spain.
Referensi K Neukam, JA Mira, I Gilabert, et al. Methadone Maintenance Therapy Does Not Influence on the Outcome of Chronic Hepatitis C Treatment with Pegylated Interferon and Ribavirin. 13th European AIDS Conference (EACS 2011). Belgrade, October 12-15, 2011. Abstract PS7/5.


Sumber :  http://www.jarumbersih.info/metadon-vs-hepatitis-c-2/

Cerita Pecandu tentang Peredaran Narkoba di Penjara




Semarang - Penjara bukan tempat aman bagi pecandu narkoba untuk berubah. Justru dari dalam penjara pecandu bisa 'naik kelas', dari pecandu menjadi pengedar.

Hal tersebut diungkapkan seorang pecandu yang sedang menjalani masa pemulihan, Dianozky dalam acara Talkshow Mengupas Peredaran Narkotika di Lapas, di kampus IKIP Semarang, Jalan Doktor Cipto Mangunkusumo, Kamis (21/6/2012)..

Dianozky menuturkan, ketika dia ditahan karena terbukti sebagai pecandu narkoba di Lapas Narkotika Yogyakarta, peredaran narkoba di dalam penjara masih terjadi. Bahkan peredaran narkoba di luar penjara juga bisa dilakukan dari pengedar di dalam. Sistem pembayarannya adalah dengan sistem transfer via e-banking. Modusnya, pengedar berkomunikasi dengan konsumen di luar penjara dengan menggunakan HP.

"Untuk yang di dalam Lapas, biasanya dari mulut ke mulut lalu dipesankan. Untuk yang di luar Lapas, konsumen memesan kepada bandar di dalam (Lapas). Lalu konsumen mendapatkan konfirmasi mengenai lokasi diletakkannya narkoba. Setelah itu operator menghubungi kurir yang ada di luar Lapas," papar Dianozky.

"Kurir kebanyakan ibu rumah tangga yang tidak mengetahui isi paket yang dikirim," imbuhnya.

Dianozky mengatakan, saat ini belum ada pemisah antara pengedar dan pengguna narkoba di Lapas sehingga transfer ilmu kejahatan menjadi mudah di dalam penjara. Banyak pengedar yang menilai bahwa penjara memiliki prospek dalam perdagangan narkoba.

"Peluang bertemunya bandar besar dan bandar kecil di dalam penjara juga semakin tinggi," katanya.

Sementara itu, Koordinator Kelompok Advokasi Kebijakan Napza Indonesia (Performa), Yvonne Sibuea mengatakan 40 persen dari 132 ribu penghuni Lapas di seluruh Indonesia adalah pengguna narkoba. Hal itulah yang menyebabkan pengedar tertarik untuk beraksi di dalam penjara.

"Selama pecandu masih butuh maka pasar akan tercipta. Para bandar di dalam penjara justru kadang merekrut pengguna narkoba agar menjadi pengedar saat keluar dari penjara. Bandar pun lebih aman di dalam penjara," pungkas Yvonne.

Meluasnya peredaran narkoba di dalam penjara juga dipengaruhi oleh Undang-undang Narkotika No.35/2009 yang pasalnya bisa dibeli. Pecandu yang tidak memiliki uang akan dikenakan pasal kepemilikan narkotika, sedangkan pemilik narkotika yang memiliki uang bisa dikenai pasal rehabilitasi dengan masa tahanan hanya empat bulan.

"Pasal 127 untuk pecandu dan dibuktikan dokter, maka akan ada masa rehabilitasi. Lalu pasal 111 dan 112 atau pasal kepemilikan. Hal seperti itu memang ditawarkan," imbuh Yvonne.

"Biaya jual beli pasal adalah Rp 300 juta," timpal Dianozky.

Sementara itu, Kepala Lapas Kedungpane Semarang, Ibnu Chuldun mengatakan, belum adanya pemisahan antara pengedar dan pemakai narkoba di Lapas Kedungpane dikarenakan over kapasitas.

"Kapasitas kami 530 orang tapi sekarang diisi 1.084 orang dan hampir separuhnya merupakan napi narkotika. Untuk peredaran narkoba di dalam penjara secara umum biasanya dengan modus barang bawaan atau oknum petugas," ungkapnya.

Sumber ;  http://news.detik.com/read/2012/06/21/202517/1947680/10/cerita-pecandu-tentang-peredaran-narkoba-di-penjara

Bantu Kami Isi Komentar anda i bawah Ini

Nama

Email *

Pesan *