Jakarta – Sekitar 60.000 narapidana atau sekitar 38
persen dari 157 ribu narapidana yang mendekam di seluruh Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) yang menyandang sebagai
pecandu atau penyalahguna narkotika akan menjalani rehabilitasi.
Demikian salah satu poin Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Pas Kemkumham) tentang Program Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika Bagi Narapidana, Tahanan, Anak Didik, dan Kilen Pemasyarakatan.
MoU ini ditandatangani bertepatan dengan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke 49 di Ditjen Pas, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).
Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, Kusman Suriakusumah menyatakan, MoU ini bertujuan untuk menekan jumlah pecandu dan penyalahguna di dalam lapas yang jumlahnya cukup besar.
Dengan mengurangi jumlah penyalahguna, maka permintaan akan narkotika dapat ditekan, yang diharapkan berpengaruh pada berkurangnya peredaran narkoba.
“Rehabilitasi bagi pecandu atau penyalahguna narkoba merupakan langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menekan angka penyalahgunaan narkoba. Semakin banyak pecandu atau penyalahguna yang pulih dari kecanduannya, maka akan membuat para bandar kehilangan pasar mereka,” kata Kusman.
Kusman mengatakan, para narapidana narkotika memerlukan perhatian khusus, terutama yang merupakan bekas pemakai atau pecandu. Para napi ini harus mendapatkan perawatan dan pemulihan yang intens melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Pasalnya, pasar narkoba akan terus berkembang jika para napi yang juga penyalahguna narkoba tidak mendapatkan rehabilitasi.
“Dampaknya, selepasnya mereka dari Lapas akan mempengaruhi masyarakat lainnya dan menambah jumlah penyalahguna narkoba,” ujar Kusman.
Menurut dia, para napi yang terbukti sebagai pecandu atau penyalahguna narkoba memiliki hak yang sama dengan penyalah guna lainnya, yaitu mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial.
Rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial merupakan kewajiban bagi napi untuk diikuti setelah hakim menjatuhkan putusan tentang terbukti atau tidaknya seorang sebagai pelaku tindak pidana narkotika.
Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 127 ayat 2, yaitu dalam memutus perkara setiap penyalah guna Narkotika baik golongan I maupun golongan II dan golongan III, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Menurut dia, nota kesepahaman ini penting lantaran seluruh anggota ASEAN berkomitmen untuk bebas narkoba pada 2015.
Salah satu indikator komitmen tersebut adalah adanya program rehabilitasi di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan).
Dikatakan Kusman, nota kesepahaman ini merupakan upaya pihaknya untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian di dalam Lapas dan Rutan akibat dampak penyakit yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika.
“Ada sekitar 60.000 lebih atau hampir 38 persen warga binaan yang menyandang sebagai penyalahguna narkotika. Kerja sama dengan Lapas ini terkait program rehabilitasi ini pertama kali dibentuk pada zaman Presiden Megawati. Ketika itu, dokter, perawat dan alat-kesehatan kami bantu. Sekarang sudah bisa dilepas,” kata Kusman.
Dalam kesempatan itu, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan maraknya penyalahgunaan narkotika di dalam Lapas atau Rutan tidak terlepas dengan kondisi Lapas dan Rutan yang sudah kepenuhan.
“Over kapasitas di Lapas dan Rutan sangat berpengaruh terhadap pelayanan warga binaan. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap determinan terjadinya penyalahgunaan narkoba dalam lapas,” katanya.
Direktur Pemasyarakatan Kemkumham, Muhammad Sueb, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti MoU ini.
“Warga binaan kami ada 157.000 narapidana, dan 38 persen atau sekitar 60.000 merupakan pecandu, penyalahguna, atau pengedar narkotika,” katanya.
Penulis: F-5/FEBDemikian salah satu poin Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Pas Kemkumham) tentang Program Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika Bagi Narapidana, Tahanan, Anak Didik, dan Kilen Pemasyarakatan.
MoU ini ditandatangani bertepatan dengan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke 49 di Ditjen Pas, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).
Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, Kusman Suriakusumah menyatakan, MoU ini bertujuan untuk menekan jumlah pecandu dan penyalahguna di dalam lapas yang jumlahnya cukup besar.
Dengan mengurangi jumlah penyalahguna, maka permintaan akan narkotika dapat ditekan, yang diharapkan berpengaruh pada berkurangnya peredaran narkoba.
“Rehabilitasi bagi pecandu atau penyalahguna narkoba merupakan langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menekan angka penyalahgunaan narkoba. Semakin banyak pecandu atau penyalahguna yang pulih dari kecanduannya, maka akan membuat para bandar kehilangan pasar mereka,” kata Kusman.
Kusman mengatakan, para narapidana narkotika memerlukan perhatian khusus, terutama yang merupakan bekas pemakai atau pecandu. Para napi ini harus mendapatkan perawatan dan pemulihan yang intens melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Pasalnya, pasar narkoba akan terus berkembang jika para napi yang juga penyalahguna narkoba tidak mendapatkan rehabilitasi.
“Dampaknya, selepasnya mereka dari Lapas akan mempengaruhi masyarakat lainnya dan menambah jumlah penyalahguna narkoba,” ujar Kusman.
Menurut dia, para napi yang terbukti sebagai pecandu atau penyalahguna narkoba memiliki hak yang sama dengan penyalah guna lainnya, yaitu mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial.
Rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial merupakan kewajiban bagi napi untuk diikuti setelah hakim menjatuhkan putusan tentang terbukti atau tidaknya seorang sebagai pelaku tindak pidana narkotika.
Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 127 ayat 2, yaitu dalam memutus perkara setiap penyalah guna Narkotika baik golongan I maupun golongan II dan golongan III, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Menurut dia, nota kesepahaman ini penting lantaran seluruh anggota ASEAN berkomitmen untuk bebas narkoba pada 2015.
Salah satu indikator komitmen tersebut adalah adanya program rehabilitasi di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan).
Dikatakan Kusman, nota kesepahaman ini merupakan upaya pihaknya untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian di dalam Lapas dan Rutan akibat dampak penyakit yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika.
“Ada sekitar 60.000 lebih atau hampir 38 persen warga binaan yang menyandang sebagai penyalahguna narkotika. Kerja sama dengan Lapas ini terkait program rehabilitasi ini pertama kali dibentuk pada zaman Presiden Megawati. Ketika itu, dokter, perawat dan alat-kesehatan kami bantu. Sekarang sudah bisa dilepas,” kata Kusman.
Dalam kesempatan itu, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan maraknya penyalahgunaan narkotika di dalam Lapas atau Rutan tidak terlepas dengan kondisi Lapas dan Rutan yang sudah kepenuhan.
“Over kapasitas di Lapas dan Rutan sangat berpengaruh terhadap pelayanan warga binaan. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap determinan terjadinya penyalahgunaan narkoba dalam lapas,” katanya.
Direktur Pemasyarakatan Kemkumham, Muhammad Sueb, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti MoU ini.
“Warga binaan kami ada 157.000 narapidana, dan 38 persen atau sekitar 60.000 merupakan pecandu, penyalahguna, atau pengedar narkotika,” katanya.
Sumber:Suara Pembaruan
http://www.beritasatu.com/nasional/110520-60-ribu-napi-narkoba-akan-direhabilitasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Isi Komentar Anda Disini