Selasa, 24 September 2013

60 Ribu Napi Narkoba Akan Direhabilitasi

Jakarta – Sekitar 60.000 narapidana atau sekitar 38 persen dari 157 ribu narapidana yang mendekam di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) yang menyandang sebagai pecandu atau penyalahguna narkotika akan menjalani rehabilitasi.
Demikian salah satu poin Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Pas Kemkumham) tentang Program Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika Bagi Narapidana, Tahanan, Anak Didik, dan Kilen Pemasyarakatan.
MoU ini ditandatangani bertepatan dengan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke 49 di Ditjen Pas, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).
Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, Kusman Suriakusumah menyatakan, MoU ini bertujuan untuk menekan jumlah pecandu dan penyalahguna di dalam lapas yang jumlahnya cukup besar.
Dengan mengurangi jumlah penyalahguna, maka permintaan akan narkotika dapat ditekan, yang diharapkan berpengaruh pada berkurangnya peredaran narkoba.
“Rehabilitasi bagi pecandu atau penyalahguna narkoba merupakan langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menekan angka penyalahgunaan narkoba. Semakin banyak pecandu atau penyalahguna yang pulih dari kecanduannya, maka akan membuat para bandar kehilangan pasar mereka,” kata Kusman.
Kusman mengatakan, para narapidana narkotika memerlukan perhatian khusus, terutama yang merupakan bekas pemakai atau pecandu. Para napi ini harus mendapatkan perawatan dan pemulihan yang intens melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Pasalnya, pasar narkoba akan terus berkembang jika para napi yang juga penyalahguna narkoba tidak mendapatkan rehabilitasi.
“Dampaknya, selepasnya mereka dari Lapas akan mempengaruhi masyarakat lainnya dan menambah jumlah penyalahguna narkoba,” ujar Kusman.
Menurut dia, para napi yang terbukti sebagai pecandu atau penyalahguna narkoba memiliki hak yang sama dengan penyalah guna lainnya, yaitu mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial.
Rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial merupakan kewajiban bagi napi untuk diikuti setelah hakim menjatuhkan putusan tentang terbukti atau tidaknya seorang sebagai pelaku tindak pidana narkotika.
Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 127 ayat 2, yaitu dalam memutus perkara setiap penyalah guna Narkotika baik golongan I maupun golongan II dan golongan III, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Menurut dia, nota kesepahaman ini penting lantaran seluruh anggota ASEAN berkomitmen untuk bebas narkoba pada 2015.
Salah satu indikator komitmen tersebut adalah adanya program rehabilitasi di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan).
Dikatakan Kusman, nota kesepahaman ini merupakan upaya pihaknya untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian di dalam Lapas dan Rutan akibat dampak penyakit yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika.
“Ada sekitar 60.000 lebih atau hampir 38 persen warga binaan yang menyandang sebagai penyalahguna narkotika. Kerja sama dengan Lapas ini terkait program rehabilitasi ini pertama kali dibentuk pada zaman Presiden Megawati. Ketika itu, dokter, perawat dan alat-kesehatan kami bantu. Sekarang sudah bisa dilepas,” kata Kusman.
Dalam kesempatan itu, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan maraknya penyalahgunaan narkotika di dalam Lapas atau Rutan tidak terlepas dengan kondisi Lapas dan Rutan yang sudah kepenuhan.
“Over kapasitas di Lapas dan Rutan sangat berpengaruh terhadap pelayanan warga binaan. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap determinan terjadinya penyalahgunaan narkoba dalam lapas,” katanya.
Direktur Pemasyarakatan Kemkumham, Muhammad Sueb, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti MoU ini.
“Warga binaan kami ada 157.000 narapidana, dan 38 persen atau sekitar 60.000 merupakan pecandu, penyalahguna, atau pengedar narkotika,” katanya.
Penulis: F-5/FEB
Sumber:Suara Pembaruan
http://www.beritasatu.com/nasional/110520-60-ribu-napi-narkoba-akan-direhabilitasi.html

Kamis, 29 Agustus 2013

MENCEGAH OVER DOSIS

Hal yang perlu diingat untuk mencegah overdosis
  • jika ada bandar baru, sebaiknya coba sedikit dulu, kemudian tunggu 20 – 30 menit untuk melihat kualitas barang.
  • Cari informasi terkait berapa lama obat bekerja
  • hindari mencampur beberapa opioid yang memiliki kandungan depresant secara bersama atau berurutan.
  • Ingat overdosis kebanyakan tidak terjadi langsung setelah “barang” dimasukkan ke tubuh, terkadang bisa terjadi beberapa jam kemudian
  • Gunakan bersama teman yg memiliki pengalaman penanganan overdosis

Senin, 19 Agustus 2013

Pertolongan Korban Over Dosis


Apa yang harus dilakukan bila kita menemukan korban Overdosis
  1. Rujuk ke layanan kegawatdaruratan (UGD) untuk mendapatkan Antidotum (semacam penetralisir) Naloxone.
  2. Berikan bantuan pernafasan:
Overdosis lebih banaloxone recoverynyak terkait dengan gangguan pernapasan, oleh karena itu bantuan napas bisa dilakukan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan bila kita menemukan korban overdosis yaitu:
  1. Jauhkan / singkirkan semua benda berbahaya disekitar anda
  2. Cek respon apakah orang tersebut sadar / tidak.
  3. Jika orang tersebut mengalami gangguan pernafasan / berhenti, segera lakukan:
    • Periksa apakah ada sesuatu yang menghambat saluran nafas di dalam mulut atau tenggorokan.

    • Jika anda menemukan sesuatu segera keluarkan / sapu dengan menggunakan dengan 2 jari ke dalam mulut dengan posisi korban menyamping.

    • Cek kembali nafas, jika orang tersebut tetap tidak bernafas, anda dapat mengembalikan ke posisi telentang, tegakkan kepala, jepit hidung menggunakan tangan dan beri nafas bantuan ke mulutnya (1 kali nafas setiap 4 detik). Pastikan dada meningkat setiap kali kita memberikan bantuan nafas, terus lakukan hal ini sampai orang dapat bernapas sendiri, atau sampai bantuan medis yang tersedia datang.

    • Jika seseorang mulai bernapas sendiri, dan posisikan dalam “posisi pemulihan” (recovery position) temani dia dan jangan ditinggalkan karena ada kemungkinan orang tersebut mengalami overdosis kembali. Sebaiknya temani hingga kondisi korban kembali benar – benar stabil. Hal serupa juga berlaku saat kita merujuk / mendampingi korban di layanan UGD untuk mendapatkan Naloxone.
    •  
    • Sumber : http://www.jarumbersih.info/pertolongan-korban-overdosis/

PENGERTIAN OVERDOSIS

Overdosis adalah keadaan dimana seseorang mengalami ketidaksadaran akibat menggunakan obat terlalu banyak, Ketika batas toleransi tubuh dalam mengatasi zat tersebut terlewati (melebihi toleransi badan) maka hal ini dapat terjadi.  Overdosis dapat terjadi kepada siapapun pengguna napza, overdosis terjadi ketika:
  • Seseorang belum pernah menggunakan /
  • Menggunakan lebih banyak zat dari takaran yang digunakan sebelumnya /
  • Mengkombinasi zat yang digunakan (mix zat) yang memiliki karakteristik atau efek yang sama.
  • Tingkat kemurnian Zat (yang pure / asli) saat digunakan dengan jumlah setara dengan jenis barang dengan tingkat kemurnian yang lebih rendah. Artinya kita tidak pernah mengetahui kemurnian barang yang kita gunakan, sehingga overdosis bisa terjadi kapanpun.
Overdosis dapat berakibat fatal dan mengakibatkan kematian bila tidak dapat diselamatkan / ditolong.


Kamis, 15 Agustus 2013

AKSI NTB Kampanyekan Jangan Hukum Korban NAPZA

Komunitas Korban Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menamakan diri Komunitas AKSI NTB mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi Mataram untuk mengampanyekan “Dukung Jangan Menghukum” (Support, Don’t Punish), Rabu (26/6/2013).
Kampanye ini menyerukan kepada pemerintah untuk mengakhiri War on Drugs, yang dianggapnya sebagai kebijakan yang diinisiasi pada tahun 1971 oleh pemerintahan Richard Nixon di Amerika Serikat.
“Jangan pandang teman-teman yang pernah menggunakan narkoba tidak berguna lagi, mereka masih punya harapan,” kata Koordinator Umum AKSI NTB, Didit Malada.
Menurut Didit, ketergantungan NAPZA bukanlah sebuah kriminal, namun masalah sosial, mental dan fisik yang tidak dapat diselesaikan melalui hukuman.
“Kriminalisasi orang yang menggunakan NAPZA dapat meningkatkan angka resiko terhadap penularan HIV, TBC dan Hepatitis C serta berdampak merusak kesempatan seseorang dari lingkungan pekerjaan dan sosial,” jelasnya.
Kampanye tersebut dilaksanakan secara serentak di 13 kota se-Indonesia untuk mengakhiri kriminalisasi dan hukuman bagi korban penyalahgunaan Narkoba.
Mereka menuntut Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB untuk menerapkan surat edaran Jaksa Agung Nomor SE/002/A/JA/02/2013 dengan petunjuk Teknis surat edaran Jaksa Agung Iidana Umum (JAMPIDUM) No. B 01/E/EJP/02/2013 yang secara struktur mengatur dengan jelas terkait penempatan korban penyalahgunaan narkotika.
Selain itu, mereka juga menuntut agar pemerintah meningkatkan upaya penanggulangan dampak buruk penggunaan narkotika berbasis bukti dan program yang efektif bagi mereka yang mengalami masalah dengan penggunaan narkotika serta meningkatkan pemahaman yang lebih baik kepada korban.

Sementara Jaksa Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejati NTB, Bambang mengapresiasi aksi tersebut. Disamping menyebutkan menjelaskan undang-undang Narkotika No. 35 tahun 2009 dan peraturan pemerintah No 25 tahun 2011 tentang wajib lapor bagi pengguna NAPZA.
Diambil dari link berita:
http://www.lombokita.com/kabar-lombok/aksi-ntb-kampanyekan-jangan-hukum-korban-nafza?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter#.Ud-YmG1u3oB

Methadon VS Hepatitis C

Methadone vs Hepatitis C?

Methadone vs Hepatitis C? Orang yang mengonsumsi methadone dapat menjalani pengobatan untuk HCV dengan sukses. Untuk teman – teman yang sedang dalam perawatan metadon dan terinfeksi Hepatitis C (HCV) mungkin sering digelayuti pertanyaan, Apakah ada kontra indikasi antara penggunaan metadon dan perawatan / pengobatan HCV? Semoga penjabaran penelitian di bawah bisa menjawab pertanyaan itu.
Pengguna Opiat dalam bentuk perawatan terapi metadon dapat dengan sukses disembuhkan dari infeksi virus Hepatitis C (HCV) yang kronis dan dapat mendapatkan hasil yang sama dengan pasien yang tidak menggunakan metadon, demikian dari data yang diungkapkan European AIDS Conference ke-13 (EACS 2011) di Belgrade. Penggunaan napza suntik dengan cara berbagi peralatan suntik adalah faktor utama dalam penularan HIV dan HCV. Dan menurut perkiraan ada sekitar 30% orang yang terinfeksi HIV juga terpapar HCV. Koinfeksi diasosiasikan dengan proses penyakit yang lebih cepat dan respons yang buruk pada terapi interferon, tetapi hasil dari pengguna opiat substitusi seperti metadon belum pernah diteliti dengan baik.
Beberapa ahli kesehatan selama ini terkesan enggan untuk melakukan perawatan terhadap pengguna napza aktif maupun yang sudah tidak aktif, sebagian besar dengan alasan dengan buruknya ketaatan dalam perawatan tetapi petunjuk perawatan yang ada sekarang menyatakan bahwa penggunaan Napza bukanlah merupakan kontraindikasi dan pasien harus dievaluasi atas dasar individu, bukan berdasarkan sejarah penggunaan Napza. Karin Neukam dari Rumah Sakit Universitario de Valme di Seville, Spanyol, dan koleganya membandingkan respons dari perawatan diantara pasien hepatitis C sebagian besar adalah pengguna Napza suntik- yang mendapatkan atau tidak mendapatkan perawatan terapi metadon.
Studi kelompok prospektif ini melibatkan 214 pasien hepatitis c kronis, di klinik rawat jalan rumah sakit universitas di Seville yang memulai perawatan interveron pegilasi ditambah ribavirin antara bulan Januari 2003 hingga Mei 2010. Hanya lebih dari sepertiga partisipan (38%) dalam perawatan metadon dan 62 % tidak menggunakan metadon. Mayoritas dari dua kelompok tersebut punya sejarah dalam penggunaan Napza suntik, tapi tidak mengejutkan, persentasi dalam penerima metadon adalah (84% vs 63%). Partisipan kebanyakan adalah laki – laki (88% di kelompok metadon, dan 77% di kelompok non-metadon) dan usia rata – rata adalah 42 tahun. Sekitar 25 % dari dua kelompok adalah HIV positif. Penerima perawatan metadon sedikit banyak memiliki pola gen IL28B “CC” dan memiliki sirosis, tapi juga secara signifikan memiliki HCV genotipe 1 atau 4 yang sulit disembuhkan.
Hasil :
Hampir semua peserta dari kedua kelompok dilaporkan 80% atau lebih memiliki ketaatan yang baik dalam terapi hepatitis C.
  1. Di analisa yang disengaja dalam perawatan, tingkat dari respons virus berlanjut (sustained virological response/SVR), atau tidak terdeteksinya HCV RNA dalam jangka berkelanjutan selama 24 minggu setelah selesai, adalah serupa dari dua kelompok baik bagi pengguna metadon maupun bukan pengguna metadon. (Keseluruhan: 48% pada dua kelompok; Genotipe 1 atau 4: 35% vs 42%, masing-masing; Genotipe 2 atau 3: 69% vs 65%, respectively).
  2. Pola yang sama terlihat di analisa on-treatment: (Keseluruhan: 57% vs 59%, masing-masing; Genotipe 1 atau 4: 39% vs 48%, masing-masing; Genotipe 2 atau 3: 76% vs 71%, masing-masing).
  3. Orang dengan koinfeksi HIV/HCV, dengan dasar HCV RNA tinggi, pola gen IL28B yang tidak menguntungkan, dan memiliki dasar sirosis lebih sedikit untuk meraih respons yang berkelanjutan.·
  4. Faktor lain seperti gender, sejarah penggunaan Napza suntik, depresi, dan dosis ribavirin tidak secara signifikan diasosiasikan dengan respons perawatan.
  5. Hasil yang lain hampir mengalami kesamaan dalam kelompok pengguna metadon dan bukan pengguna metadon; (Post-treatment relapse: 11% vs 12% – masing-masing; Terobosan virological: 1% pada kedua kelompok; Respons yang tidak berlaku: 22% vs 21%, – masing-masing; Diskontiniu sukarela: 12% vs 11% – masing-masing; Kejadian yang merugikan: 5% vs 7% – masing-masing).
“Efisiensi dari HCV terapi di antara pengguna metadon dan yang tidak menggunakan metadon ditemukan mendapatkan hasil yang mirip” peneliti menyimpulkan “Pasien yang dalam perawatan metadon harus secara setara dipertimbangkan dalam perawatan interferon pegilasi plus ribavirin.”
Penemuan ini mengindikasikan bahwa penggunaan metadon tidak seharusnya menjadi pertimbangan kontraindikasi dalam perawatn hepatitis C. Stefan Mauss dari Heinrich-Heine University di Duesseldorf mengatakan bahwa ini adalah studi yang sangat penting, dan khususnya negara Eropa timur membutuhkan data seperti ini untuk meyakinkan pada ahli kesehatan dan masyarakat umum bahwa pasien hepatitis C yang menggunakan metadon dapat secara sukses disembuhkan.
Afiliasi Peneliti: Hospital Universitario de Valme, Unit of Infectious Diseases and Microbiology, Seville, Spain; Ambulatory Care Centre for Drug Addiction ANTARIS, Dos Hermanas, Spain; Centro Penitenciario Sevilla, Medical Services, Alcalá de Guadaira, Spain; Hospital Universitario de Valme, Unit of Investigation, Seville, Spain.
Referensi K Neukam, JA Mira, I Gilabert, et al. Methadone Maintenance Therapy Does Not Influence on the Outcome of Chronic Hepatitis C Treatment with Pegylated Interferon and Ribavirin. 13th European AIDS Conference (EACS 2011). Belgrade, October 12-15, 2011. Abstract PS7/5.


Sumber :  http://www.jarumbersih.info/metadon-vs-hepatitis-c-2/

Cerita Pecandu tentang Peredaran Narkoba di Penjara




Semarang - Penjara bukan tempat aman bagi pecandu narkoba untuk berubah. Justru dari dalam penjara pecandu bisa 'naik kelas', dari pecandu menjadi pengedar.

Hal tersebut diungkapkan seorang pecandu yang sedang menjalani masa pemulihan, Dianozky dalam acara Talkshow Mengupas Peredaran Narkotika di Lapas, di kampus IKIP Semarang, Jalan Doktor Cipto Mangunkusumo, Kamis (21/6/2012)..

Dianozky menuturkan, ketika dia ditahan karena terbukti sebagai pecandu narkoba di Lapas Narkotika Yogyakarta, peredaran narkoba di dalam penjara masih terjadi. Bahkan peredaran narkoba di luar penjara juga bisa dilakukan dari pengedar di dalam. Sistem pembayarannya adalah dengan sistem transfer via e-banking. Modusnya, pengedar berkomunikasi dengan konsumen di luar penjara dengan menggunakan HP.

"Untuk yang di dalam Lapas, biasanya dari mulut ke mulut lalu dipesankan. Untuk yang di luar Lapas, konsumen memesan kepada bandar di dalam (Lapas). Lalu konsumen mendapatkan konfirmasi mengenai lokasi diletakkannya narkoba. Setelah itu operator menghubungi kurir yang ada di luar Lapas," papar Dianozky.

"Kurir kebanyakan ibu rumah tangga yang tidak mengetahui isi paket yang dikirim," imbuhnya.

Dianozky mengatakan, saat ini belum ada pemisah antara pengedar dan pengguna narkoba di Lapas sehingga transfer ilmu kejahatan menjadi mudah di dalam penjara. Banyak pengedar yang menilai bahwa penjara memiliki prospek dalam perdagangan narkoba.

"Peluang bertemunya bandar besar dan bandar kecil di dalam penjara juga semakin tinggi," katanya.

Sementara itu, Koordinator Kelompok Advokasi Kebijakan Napza Indonesia (Performa), Yvonne Sibuea mengatakan 40 persen dari 132 ribu penghuni Lapas di seluruh Indonesia adalah pengguna narkoba. Hal itulah yang menyebabkan pengedar tertarik untuk beraksi di dalam penjara.

"Selama pecandu masih butuh maka pasar akan tercipta. Para bandar di dalam penjara justru kadang merekrut pengguna narkoba agar menjadi pengedar saat keluar dari penjara. Bandar pun lebih aman di dalam penjara," pungkas Yvonne.

Meluasnya peredaran narkoba di dalam penjara juga dipengaruhi oleh Undang-undang Narkotika No.35/2009 yang pasalnya bisa dibeli. Pecandu yang tidak memiliki uang akan dikenakan pasal kepemilikan narkotika, sedangkan pemilik narkotika yang memiliki uang bisa dikenai pasal rehabilitasi dengan masa tahanan hanya empat bulan.

"Pasal 127 untuk pecandu dan dibuktikan dokter, maka akan ada masa rehabilitasi. Lalu pasal 111 dan 112 atau pasal kepemilikan. Hal seperti itu memang ditawarkan," imbuh Yvonne.

"Biaya jual beli pasal adalah Rp 300 juta," timpal Dianozky.

Sementara itu, Kepala Lapas Kedungpane Semarang, Ibnu Chuldun mengatakan, belum adanya pemisahan antara pengedar dan pemakai narkoba di Lapas Kedungpane dikarenakan over kapasitas.

"Kapasitas kami 530 orang tapi sekarang diisi 1.084 orang dan hampir separuhnya merupakan napi narkotika. Untuk peredaran narkoba di dalam penjara secara umum biasanya dengan modus barang bawaan atau oknum petugas," ungkapnya.

Sumber ;  http://news.detik.com/read/2012/06/21/202517/1947680/10/cerita-pecandu-tentang-peredaran-narkoba-di-penjara

Rabu, 14 Agustus 2013

Perempuan Korban Napza Harus di Penjara


Semarang- Lapas Bulu Wanita 28/06/12
Sebut saja namanya “Nur” seorang perempuan muda asal Malang Jawa Timur yang berusia 22 tahun, harus dipenjara 10 bulan karena terbukti melanggar pasal 127 ayat 1 Undang-undang narkotika tes urine positif menggunakan shabu-shabu (Memphetamine).
Nur datang dari Malang bersama pacarnya berinisial “PWT” ke Semarang sekitar 7 bulan yang lalu, Nur kost bersama pacarnya di Kota Semarang, pada awal bulan mei 2012 temannya PWT selaku pacarnya Nur datang ke Kost yang berinisial “KUS” pukul 20.30 wib, di dalam Kost PWT dan KUS berkomunikasi yang dimana Nur tidak tahu apa yang mereka bicarakan, beberapa saat kemudian PWT menyerahkan uang kepada KUS. Nur pun pada bulan mei sedang hamil 3 bulan hasil dari hubungan dengan pacarnya PWT.
Setelah itu KUS pergi meninggalkan kost, karena waktu sudah larut malam Nur pun tertidur di kost, namun sekitar pukul 03.00 dini hari Nur terbangun, dan melihat KUS menghisap sesuatu yang menggunakan alat botol yang ada sedotannya (Bong), sedangkan PWT sudah tertidur, tiba-tiba Nur ditawarkan KUS dengan alasan Nur coba ini rokok mahal, awalnya Nur menolak karena di paksa akhirnya dia ikut menghisap, pada hisapan pertama Nur batuk-batuk, “ko rokok mahal bikin batuk-batuk” ujar Nur, Namun Nur malah dimarahin oleh KUS, “kamu di kasih rokok mahal malah di buang-buang” Nur pun menjawab “aku sudah tidak mau lagi mas” kamu harus menghisap 3 kali lagi, tanpa menolak akhirnya Nur pun menghisap 3 hisap lagi. Setelah selesai menghisap tersebut Nur kembali tertidur di kamar Kostnya.
Ketika paginya pukul 7 Nur terbangun dari tidurnya, lalu dia mengadu kepada pacarnya PWT semalam aku disuruh menghisap rokok itu mas” ujar Nur kepada pacarnya. lalu pacarnya Nur, PWT berkata “kamu bodoh jangan mau jika di suruh menghisap itu” Nur pun menjawab “emangnya itu rokok apaan toh mas” namun PWT tidak menjelasakan
Sekitar pukul 08.00 pagi tiba-tiba datang anggota kepolisian dari satuan Narkoba Polrestabes Semarang dengan tidak menggunakan seragam berjumlah 7 orang, Kost an Nur pun di acak-acak oleh Polisi tersebut. Sementara KUS melarikan diri, sedangkan PWT berdiri gemetar seperti orang gugup, Namun Nur sendiri merasa bingung dan bertanya kepada orang yang mengacak-acak kostnya, ini ada apa toh kenapa kost saya di acak-acak? Ujar Nur bertanya. Anggota polisi yang menggunakan pakaian preman, berkata “kami dari Satuan Narkoba Polrestabes Semarang” sementara 3 orang anggota polisi mengejar KUS namun akhirnya tetap dapat diringkus, NUR dan pacarnya PWT di bawa ke kantor Polrestabes Semarang.
Akhirnya Nur di Tahan meskipun dia hanya korban yang dipaksa menggunakan narkoba jenis shabu-shabu oleh PWT dan tidak ada barang bukti, namun hanya tes urine yang menunjukkan positif.
di dalam tahanan Nur harus keguguran kandungannya, permasalahannya jelas-jelas Nur adalah korban yang tidak tahu apa-apa tentang narkotika, juga habis keguguran kandungannya, dan polisi membawa Nur tidak sesuai prosedur, diantara nya : surat perintah penangkapan, surat perintah penggeledahan, dari situ saja sudah jelas bahwa aparat kepolisian melanggar peraturan yang sudah berlaku.
Lebih parahnya lagi Nur harus di pidana penjara 10 bulan oleh majelis hakim di pengadilan negeri semarang pada tanggal 26 juni yang dimana bertepatan dengan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2012, sebelumnya Nur di tuntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Slamet. H. SH dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan, putusan tersebut lebih ringan 8 bulan dari tuntutan JPU.
Pertanyaannya adalah harus korban yang di paksa menggunakan narkoba tetap harus dipenjarakan? apalagi Nur masih mempunyai seorang anak di Malang berusia 4 tahun yang dimana masih butuh ibunya, sebelumnya pada saat hamil 8 bulan suaminya pergi entah kemana tidak ada rimbanya, hingga Nur harus mengurus anaknya sendiri sementara ini baru sampai usia 4 tahun, kini anaknya tersebut diasuh oleh tetangganya, Malang nian perempuan korban narkotika ini.
Ternyata meskipun Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika sudah mengatur tentang korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika harus di rehabilitasi. Apa yang akan terjadi jika Nur bebas nanti? sementara tetangga di desa nya tahu bahwa Nur di penjara dan masyarakat desa yang awam tidak peduli kasusnya apa.
Analisa saya akan ada stigma dan diskriminasi ganda terhadap Nur. Karena label seseoarang keluar dari penjara berbeda dengan label seseorang keluar dari tempat rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Sedemikian kejamnyakah negeri ini terhadap rakyatnya sendiri????

Pecandu Narkotika Butuh Rehabilitasi, Bukan di Penjara


Tidak seperti bandar yang memang berjualan untuk mendapat untung, pengguna narkoba (narkotika dan obat berbahaya) seharusnya dilihat sebagai korban. Pecandu yang seharusnya masuk rehabilitasi, masih banyak yang divonis masuk penjara.
Pelaksanaan vonis rehabilitasi untuk korban penyalahgunaan Napza (Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) belum dilaksanakan dengan maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pecandu yang masuk penjara.
Pada bulan Mei 2012, Sistem Database Pemasyarakatan mencatat jumlah pecandu yang masuk Lembaga Pemasyarakatan Pidana Khusus mencapai 24.237 orang. Jumlah ini menempati urutan kedua paling banyak setelah bandar Napza, yang jumlahnya 27.282 orang.
Jumlah pecandu yang masuk penjara memang mengalami penurunan dari data bulan April 2012 yakni sebesar 24,579 orang. Namun dibandingkan bulan Februari 2012 yang hanya sebesar 22,532 orang, maka tampak bahwa masih banyak pecandu yang belum mendapatkan hak-haknya.
“Hak rehabilitasi dan dekriminalisasi pengguna napza masih menjadi tanda tanya,”
Saya menilai, masih banyaknya jumlah pecandu yang divonis masuk penjara menunjukkan bahwa hak-hak para pencandu atau pengguna untuk mendapatkan layanan rehabilitasi masih belum terpenuhi. Para pecandu masih dikriminalisasi, atau diperlakukan sama seperti pelaku tindak kriminal.
Namun disisi lain para bandar yang notabene mempunyai uang banyak hasil dari penjualan narkotika bisa membeli pasal pecandu, sehingga pasal 54, 55, 56, 103 dan pasal 127 Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika, ini yang seharusnya menjadi hak pecandu, namun di ambil oleh para bandar.
Sedangkan pecandu miskin, dikenakan pasal kepemilikan pasal 111 atau 112, yang dimana hukumannya minimal 4 tahun penjara. Namun Pecandu dari kalangan ekonomi menengah keatas seringkali terjadi pemerasan terhadap keluarganya, dengan tujuan untuk mendapatkan pasal yang meringakan. berarti Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika, masih sangat rentan, terjadinya suap-menyuap antara bandar dengan penegak hukum, (Polisi, Jaksa, Hakim, maupun Pengacara)
Selain Undang-undang no.35 tentang narkotika sudah mengatur rehabilitasi juga ada ketentuan lain yang mendukung sebagai berikut.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1305 tahun 2011; tentang penetapan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
Kepmenkes Nomor 2171 tahun 2011 tentang; Tata Cara Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.03 Tahun 2011, tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika di dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

Penjara Bukan Solusi

Sudah bukan rahasia lagi, penjara bukanlah tempat yang kondusif bagi pengguna narkoba. Dalam artian, penjara bukan menjadi jawaban untuk membantu pecandu narkoba untuk mencapai kesembuhan. Sudah menjadi rahasia umum pula, kalau pecandu narkoba bisa “naik pangkat” ketika sudah pernah mencicipi dinginnya lantai penjara. Awalnya hanya pengedar kemungkinan besar bisa menjadi bandar. Kondisi ini tentu kontradiktif dengan tujuan awal pemidanaan bagi pecandu narkoba, memberi efek jera. Alih-alih menjadi kapok, pecandu nakoba justru bisa menjadi rantai baru bagi peredaran narkoba.
Dari Pengalaman saya sebagai seorang pecandu Narkoba yang di penjarakan di Lapas Narkotika Yogyakarta, dan ternyata di Dalam lapas Narkotika Yogyakarta, ada bisnis Narkoba yang dijalankan Oleh Napi yang dilindungi Oleh KPLP dan Bimaswat, dimana setiap napi jika ingin mendapatkan alat komunikasi secara resmi menurut versi oknum petugas Lapas, harus membayar, Rp, 2,5 juta/ bulan alat komunikasi yang di gunakan untuk transakasi narkoba, yang dimana alat komunikasi akan di berikan pada jam 9 pagi dan di kembalikan kepada okmun petugas lapas jam 5 sore setiap harinya seperti itu, bayangkan jika ada 10 orang napi yang menjalankan bisnis tersebut penghasilan oknum petugas lapas narkotika setiap bulannya bisa mencapai Rp. 25 juta . sedangkan setahu saya yang menjalan bisnis narkoba tersebut tidak hanya 10 orang kurang lebih ada 35 orang.
Model Transaksi di Yogya dan Jawa Tengah adalah dengan Sistem Transfer via E Bangking, dimana para konsumen memesan Narkoba yang dibutuhkan dengan cara menghubungi operator yang ada didalam Lapas, setelah konsumen mentransfer uang sesuai jumlah pembeliannya, lalu si konsumen akan mendapatkan sms alamat dimana narkoba itu ditaruh, biasanya para kurir yang menaruh dan membuat alamat adalah orang yang berada di luar lapas Narkotika, sebagian besar kurir tersebut tidak mempunyai pekerjaan, sehingga dia terpaksa mengambil pekerjaan tersebut, karena setiap kurir mengirim narkoba pada salah satu alamat dia akan mendapatkan upah antara Rp. 25.000 sampai Rp. 200.000, tergantung dari jumlah pemesanan konsumen.
Tidak usah jauh-jauh. Tertangkapnya KALAPAS NUSAKAMBANGAN akibat tersandung kasus narkoba bisa dijadikan parameter. Pihak yang seharusnsya menjadi pengawas agar bisa menimalisir peredaran narkoba justru berbisnis narkoba. Tentu bisa dibayangkan betapa kronisnya bisnis peredaran narkoba dalam penjara. Penjara bukan tempat yang bersahabat bagi pecandu untuk mencapai kesembuhan. Sehingga, diperlukan sistem terpadu yang lebih memiliki daya dukung bagi pecandu narkoba untuk mengatasi ketergantungannya. Kenyataan ini menjadi bukti sahih bahwa ada yang tidak beres dengan manajemen lapas terkait dengan narkoba.
Hasil penelitian terhadap napi narkoba di lapas dan Rumah Tahanan Negara, hasil kerja sama Bada Pusat Statistik dengan Badan Narkotika Nasional tahun 2006 menemukan sebanyak 8,7 persen dari 1868 responden penghuni lapas pernah memakai narkoba. Artinya, sebanyak 162 orang napi pernah memakai narkoba. Bayangkan berapa jumlah pemakai narkoba dalam penjara jika di dibandingkan dengan jumlah napi sesungguhnya. Namun hasil penelitian bisa saja berbeda dengan kenyatan yang ditemui di lapangan. Bukan tidak mungkin pemakai narkoba di penjara persentasenya jauh lebih besar. Bahkan 4,4 persen pernah melakukan transaksi narkoba dalam penjara dan 9,5 persen responden mengaku pernah ditawari narkoba oleh sesama narapidana.
Harus diakui kebanyakan lembaga permasyarakatan di berbagai daerah di Indonesia sudah overload, Banyaknya penghuni lapas. Transfer ilmu kejahatan menjadi lebih mudah dilakukan. Apalagi untuk kasus narkoba. Peluang bertemunya bandar besar dengan bandar kecil menjadi sangat besar. Belum lagi dengan pecandu yang sebelumnya hanya berstatus pemakai. Bahkan, banyak pihak menyebutkan, bisnis narkoba di luar penjara dikendalikan dari dalam penjara.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya fasilitas kesehatan di lapas. Banyak napi yang tidak mendapat perawatan kesehatan semestinya akibatnya minimnya jumlah tenaga medis. Bahkan, untuk mendapatkan perawatan kesehatan, sejumlah napi mengaku harus menyetorkan sejumlah uang tertentu. Tidak heran, angka kematian napi di penjara semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kematian ini, mayoritas, disebabkan napi bersangkutan mengidap HIV positif atau penyakit bawaan. Sehingga ketika tidak mendapat perawatan yang layak, kondisi kesehatannya semakin memburuk dan berujung pada kematian.
Sehingga, untuk mencegah semakin meluasnya peredaran narkoba dalam penjara, dibutuhkan mensejahterakan para sipir secara ekonomi. Namun, sayang UU Narkotika No.35/2009. mempunayai 2 wajah dan tidak bisa menentukan, siapa yang bisa dikategorikan sebagai pengedar dan siapa yang dikategorikan sebagai pecandu. meskipun sudah ada pasal rehabilitasi bagi pecandu, namun jarang sekali bahkan hampir tidak ada pecandu yang mendapatkan vonis rehabilitasi, kecuali pecandu tersebut dari kalangan orang kaya, itupun masih harus dipenjarakan bukan di rehabilitasi meskipun hanya 4 bulan penjara. Dengan adanya pemilahan ini, maka penempatan tahanan juga bisa diseleksi. Pengedar kelas kakap tentu harus dijauhkan dari tahanan lain. Sedangkan pecandu biasa tentu harus diawasi lebih ketat agar tidak kembali memakai narkoba. Begitu juga petugas lapas. Mereka yang bekerja di lapas harus dipilih orang-orang yang memang punya komitmen tinggi untuk mencegah peredaran dan pemakaian narkoba, idealnya.
Nantinya, lapas khusus narkoba ini juga hendaknya dilengkapi dengan poliklinik untuk tahanan yang berstatus Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Selain itu lapas narkoba ini juga dilengkap dengan Voluntary Counseling and Test (VCT) atau tempat konseling tes sukarela bekerja sama dengan rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat. Pembangunan poliklinik ini merupakan upaya untuk menekan angka kematian di lapas akibat kasus HIV/AIDS yang diderita narapidana kasus narkoba.
Selain penyediaan konseling HIV, poliklinik dalam lapas khusus narkoba juga hendaknya mengupayakan harm reduction (pengurangan dampak buruk). Para napi itu dites urinenya sehingga bisa digolongkan mana saja pengguna narkoba aktif. Mereka yang kadar adiksinya rendah bisa mensubstitusi narkotika dengan metadhone. Tingkat adiksi metadhone yang relatif rendah akan membuat napi bisa berperilaku lebih produktif dan positif. Dengan demikian, pecandu bisa melakukan kegiatan bermanfaat buat dirinya.
Tidak ada alternatif lain untuk membantu napi narkoba untuk mengatasi ketergantungan terhadap narkoba. Persoalan narkoba tidak bisa diselesaikan dengan metode represif dengan menghukum pemakai narkoba dengan pidana penjara. Harus ada alternatif lain. Sekarang, political will pemerintah mutlak diperlukan untuk memanusiakan napi. Tidak hanya menjadikan pecandu sebagai komoditas atau obyek eksperimental di dalam penjara. Jangan sampai penjara membuat napi khususnya pemakai narkoba tersandera hak-haknya. Apalagi tergadaikan harga diri dan hak asasinya. Sebab, napi juga manusia.

Penyamarataan demi Hukum Pemberian Grasi Corby Juga Kepada Warga Bangsa Indonesia Untuk Kasus Narkotika golongan 1

Presiden memberikan grasi atau pengampunan terhadap Corby lima tahun, dari vonis hukuman 20 tahun menjadi 15 tahun penjara. Dasar hukum pemberian grasi oleh Presiden adalah pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam Keputusan Presiden Nomor 22/G Tahun 2012. Keputusan itu ditetapkan pada tanggal 15 Mei 2012. Kata Kepala BNN Gories Mere di Jakarta.
Karena memang sudah Undang-Undang No.5 Tahun 2010 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 22, Tahun 2002 Tentang Grasi diberikan satu kali saja. Demi azas keadilan hukum dan Hak Asasi Manusia, seharusnya Presiden juga memberikan Grasi tersebut kepada Warga Negara Indonesia yang terbelit persoalan yang sama, khususnya Narkoba Golongan 1, yang menurut Undang2 narkotika narkotika terdiri atas 65 jenis daftar, antar lain Opium dan turunannya, Ganja dan turunannya, Kokain dan turunannya, Heroin dan turunannya, Amfetamina dan turunannya, dan Metamfina dan turunannya.
Pemberian grasi presiden ini sudah tentu mengundang pro dan kontra diberbagai lapisan masyarakat. Jika memang tidak ada tekanan Politik, dari Negara-negara yang selama ini mendikte Indonesia dari berbagai macam masalah ekonomi dan politik. Seharusnya Presiden pun memberikan Grasi khususnya Kepada bangsa kita sendiri (Indonesia), yang dimana masyarakat Indonesia sebagian besar yang tertangkap karena kasus Narkotika Golongan satu adalah, pengguna yang merangkap menjadi kurir, mengapa teman-teman pengguna merangkap menjadi Kurir Narkotika?
Ada beberapa alasan dan analisa saya secara pribadi, karena saya sebagai seorang pecandu juga pernah di penjarakan di Lapas Narkotika Yogyakarta pada Tahun 2011, meskipun saya sudah terdaftar di tempat Rehabilitasi, dan Puskesmas yang terkait dengan Program Penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan pengguna napza (Narkotika, Psikotropika dan zat adiktif lainnya), namun saya tetap di penjarakan. Diantaranya adalah :
1. Adanya ketimpangan kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia, sehingga mereka terpaksa menjadi kurir atau pengedar narkotika.
2. Adanya kebutuhan penggunaan Narkotika seseorang yang sudah ketergantungan, sehingga pengguna yang ekonominya menengah ke bawah merangkap menjadi kurir ataupun pengedar narkotika, hasil merangkap dari menjadi kurir itupun untuk mendapatkan kebutuhan kecanduannya (Pemakaian Narkoba).
3. Tidak adanya jaminan seseorang pecandu yang dipenjarakan akan terlepas dari penggunaannya, bahkan bisa terlibat lebih jauh kedalam lingkaran mafia peredaran gelap narkotika yang ada di Lapas, berdasarkan pengalaman saya sendiri, ternyata peredaran narkotika di dalam lapas di lindungi oleh oknum Lapas itu sendiri.
4. Sebagian besar yang terlibat Narkotika di Indonesia adalah anak-anak muda yang seharusnya mempunyai usia produktif untuk membantu pembangunan Negeri tercinta ini Indonesia.

Sangat miris saja, yang dimana Warga Negara Autralia (Corby) secara ekonomi tidak terlalu bermasalah artinya sebagian besar warga Negara Australia bisa di bilang sejahtera, jika Corby memang seorang pengguna, tidak seharusnya dia membawa Ganja pada tahun 2005 lebih dari 4 kilogram. Kita sebagai bangsa Indonesia sangat jelas mempunya UU. Narkotika no. 35 Tahun 2009, yang dimana ancaman hukumannya sampai ada hukuman mati.
Dan kita juga tidak perlu munafik bahwa mencari narkoba di Indonesia semudah mencari kacang goreng, jika memang Corby seorang pengguna (pecandu) tentu mafhum untuk bertemu dengan komunitas pengguna Napza di Indonesia, apalagi Indonesia sendiri punya tanaman Ganja yang tumbuh sendiri di Pulau Sumatera, tentu sangat mudah mencari ganja di Indonesia. Jadi Corby tidak perlu repot-repot membawa Ganja sebanyak lebih dari 4 kilogram ke Pulau Dewata Bali, karena di setiap bandara di Indonesia sudah ada Papan Informasi : “Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkoba”
Ini adalah suatu ketidakadilan bagi rakyat Indonesia, saya mengira pemerintah Indonesia terlalu tunduk kepada Negara-negara maju.
Pertanyaannya adalah? apakah pemerintah Indonesia akan konsisten terhadap Undang-Undang yang sudah ada? atau atas persamaan azas Keadilan hukum dan Hak Azasi Manusia, pemberian Grasi juga harus di berikan kepada rakyat Indonesia yang terbelit persoalan yang sama, khususnya Narkoba Golongan 1?
Aturan di buat, aturan di langgar, yang menjadi korban adalah bangsa kita sendiri.
Semoga pemerintah Indonesia lebih peka terhadap permasalahan bangsa sendiri, yang terkait dengan kesejahteraan ekonomi versus perederan yang dilakukan narkoba yang dilakukan oleh rakyat Indonesia.